Setelah 4 Tahun, Novel Fiksi Fantasi The Astrajingga Akhirnya Rilis! - IMedia9 - Creative Networks

Breaking

Tuesday 6 February 2018

Setelah 4 Tahun, Novel Fiksi Fantasi The Astrajingga Akhirnya Rilis!


Saya belum mau beli buku Astrajingga The Punakawan Awakens. Nggak tahu deh kalau sore. Tungguin aja. (Bukan Kata Dilan). Jadi kalau gue nggak mau beli buku Astrajingga The Punakawan Awakens itu salah gue? Salah temen-temen gue? (Bukan Kata Cinta). Baguuus (Pak Tino Sidin)

Proyek novel fiksi fantasi Astrajingga saya mulai sejak 2013 silam. Niatnya mah sederhana. Cuma ikut-ikutan. Kenapa? Karena pada tahun itu, aura novel fiksi fantasi sedang membara luar biasa. Judul-judul buku fantasi bertebaran di toko buku. Sebagian di antaranya best seller dan terus cetak ulang. Sebut saja seri The Lord of The Rings, Harry Potter. dan Percy Jackson. Jadi sebagai seorang penulis, saya juga tertarik untuk ikut nimbrung di kancah dunia persilatan dengan membawakan novel fantasi bertemakan budaya Indonesia dibalut dengan modernisasi.

Waktu itu pilihan saya ada dua. Membuat karakter baru, atau melakukan remake pada karakter yang sudah ada, dengan catatan karakter tersebut berada di ranah publik domain sehingga cukup bebas untuk diapa-apain. Pilihan saya pun jatuh pada karakter Cepot alias Astrajingga yang merupakan karakter pewayangan terkenal di tanah Pasundan. Bersama dengan mas Dennis Saputra, kami mencoba untuk melakukan remake terhadap karakter berwajah merah tersebut.



Hasilnya keren gila. Asli. Gokil aja ngebayangin muka si Cepot yang eksotik begitu dipadukan dengan bajunya yang does-it-come-in-black ala Batman. And yes, The Sarung yang menjadi main part sengaja tetap dipakai sebagai ciri khas Kabayan atau malah Si Unyil? Entahlah. Yang jelas saya bertekad untuk membuat novel ini menjadi novel wayang komedi yang ancur seancur-ancurnya! Kok ancur sih? Yah, gimana nggak ancur orang musuh utamanya aja robot. Pernah ngebayangin nggak kalau di jaman pewayangan ada cyborg?



Konsep duel antar dua jaman (baca: Tradisionalisme vs Modernisme) inilah yang coba saya angkat dalam novel ini meski tetap dengan mempertahankan pakem pewayangan yang sudah ada. Itu sebabnya saya mengambil seting di masa pemerintahan Parikesit Pasca perang Bharatayudha. Takutnya para penggemar cerita pewayangan komplain. Yah, sebenarnya sudah ada 1-2 orang sih yang komplain dengan tema cerita ini. Mereka hanya merasa penggambaran saya, terutama karakter Cepot, tidak sama dengan penggambaran Cepot yang pernah mereka dengar pada jamannya.

"Naha si Cepotnya jadi kasep?" (Kenapa Cepotnya jadi ganteng)  Begitu salah satu komentar yang terngiang cukup jelas di benak saya.

Well, its a secret. Harusnya. Tapi terpaksa saya bilang. Sejak kecil, saya takut dengan acara wayang, khususnya Cepot. Setiap kali acara itu muncul di TVRI saya pasti langsung masuk kamar, atau minimal naik ke atas kursi saking takutnya. Jadi dalam bayangan saya, Cepot adalah sosok yang menakutkan. Dan butuh perjuangan berat bagi saya untuk mengubah imagenya menjadi sosok yang kocak dan layak menjadi protagonis yang lucu.

Walaupun demikian, masukan para senior penggemar pewayangan itu tetap saya terima dan dijadikan bahan penelitian selanjutnya. Pada tahun 2014 saya melakukan sebuah eksperimen lanjutan di ajang Gramedia Writing Project dengan mempublish 5 bab awal naskah ini hanya untuk sekedar memancing reaksi pembaca. Hasilnya? Lumayanlah daripada ditabok satpam.






Meski cuma mendapat 8000 view, saya cukup percaya diri untuk mengirim naskah The Astrajingga ke beberapa penerbit mayor. Dengan aura novel fantasi yang masih kuat dan dukungan data valid serta prospek Transmedia pada naskah ini, saya yakin novel ini bisa diterima. Dan hasilnya.... Fail. Nol besar. Naskah saya ditolak. Dengan alasan: Tidak ada segmen penerbitan untuk menerbitkan karya seperti ini.

Dan saya pun bingung.



Saya cukup berpengalaman dengan penolakan naskah. Alasan naskah ditolak biasanya adalah alur cerita klise, sudah ada banyak cerita sejenis atau naskah belum sesuai dengan standar penerbitan. Tapi ditolak dengan alasan tidak ada segmen penerbitan? Nah, ini baru. Padahal penerbit mayor ini sudah banyak sekali menebitkan novel fantasi. Impor sih. Tapi rasanya yang lokalan juga ada deh.

Lalu apa penyebabnya? What is the real root cause euy?

Well, butuh waktu cukup lama bagi saya untuk mengerti jika harga kertas tidak pernah ada hubungannya dengan karya anak bangsa, serta budaya atau kearifan lokal Indonesia. Net Present Value, Return of Interest, Break Event Point dan teman-temannya tidak terlalu perduli dengan masalah novel impor atau lokal. As long is itungannya masuk, then it will be released.

Titik.

Bukankah Ekonomi Kreatif berarti merupakan kegiatan kreatif yang memiliki unsur Ekonomi? Dan Penerbitan dan Percetakan hanyalah salah satu dari beberapa subsektor Industri Kreatif? Jadi wajar dan pantas jika mereka pun harus memikirkan unsur bisnis dan finansial terhadap suatu karya yang ingin diterbitkan.

Gampangnya, naskah The Astrajingga yang membawakan tema wayang komedi dinilai belum cukup keren untuk mampu mengalahkan novel-novel remaja bertemakan cinta yang secara statistik terus merajai penjualan buku di Indonesia. Apalagi di tahun saya mengirimkan naskah, sudah ada lebih dari 20 judul naskah fiksi fantasi lokal yang penjualannya memang tidak begitu memuaskan.

Di sinilah saya dihadapkan pada persimpangan jalan yang membuat saya galau dan bimbang. Tetap bertahan dengan hawa idealisme, gokilisme, kocakisme dan lucuisme atau banting setir dan membuat novel baru bertemakan romantisme, pacarisme, dan baperisme?

Yang jelas, butuh waktu 2 tahun bagi saya untuk menyelesaikan naskah ini. Dan butuh waktu 2 tahun lagi untuk bisa sampai ke tahap ini. Bersama-sama dengan Zettamind Studio, saya masih optimis jika Astrajingga The Punakawan Awakens bisa menemukan marketnya sendiri. Saya ingin membuktikan jika penggemar novel fantasi lokal itu masih ada. Masih ada mereka yang bersedia membeli bukunya, masih ada mereka yang mau minjem dari temannya, atau minimal, masih ada mereka yang penasaran yang pengin diceritain isi ceritanya sama temennya. Maklum, soalnya menurut sebuah penelitian ilmiah minat baca Indonesia rendah banget - jadi lebih mending diceritain daripada baca sendiri.

Terakhir, kalau seandainya buku ini tetep nggak laku-laku, paling akan saya ganti juga judulnya menjadi: Astrajingga 1990, Ada Apa Dengan Astrajingga atau Ayat-Ayat Astrajingga.



No comments:

Post a Comment